Sore
yang cerah, aku duduk gelisah sambil sesekali menatap jam dinding
kantor pemberangkatan bus yang akan membawaku ke kota persinggahanku
selanjutnya. Menunggu adalah pekerjaan yang meresahkan bagiku terutama
menunggu sesuatu hal yang baru seperti ini. Perjalanan dengan bus dari
Balikpapan ke Banjarmasin merupakan perjalananku pertama. Kulihat
orang-orang disekitarku dengan beragam aktivitas mereka, ada beberapa
calon penumpang yang saling bercakap-cakap, bahkan bersendau gurau satu
sama lainnya. Karena sendirian maka yang dapat kulakukan hanyalah
menunggu serta memperhatikan mereka. Waktu telah menunjukkan 17.15 dan
tempat pemberangkatan mulai dipadati calon penumpang, tapi aku tak tahu
apakah mereka akan seperjalanan dengan aku karena sudah ada 3 bus yang
siap berangkat dengan arah yang berbeda.
Kulihat tiket keberangkatan dan berjalan mendekat nomor bus yang
dimaksud dalam tiket. Setelah memasuki bus tanpa kesulitan kutemukan
tempat dudukku no 33. Aku agak lega ternyata nomorku tepat disamping
jendela sehingga keinginanku untuk dapat melihat pemandangan luar
terkabul meskipun aku sadar bahwa tak banyak yang akan kulihat karena
ini merupakan perjalanan malam hari dan jendela bus ber-AC secara
permanen tak dapat dibuka. Kulihat keluar jendela dan secara tak sengaja
aku memperoleh pandangan yang menyegarkan. Sebagai seorang pria lagi
bujang yang berumur 28 tahun, pandangan yang menyegarkan otakku adalah
wanita. Sudah sejak tadi kucari pemandangan seperti ini tapi baru
kudapatkan pada saat busku akan segera berangkat.
“Kenapa cewek-cewek itu tidak ada sedari tadi?”, umpatku dalam hati.
Kulihat cewek-cewek itu dari kaca jendela bus sambil mengira-ngira umur
mereka, “yang rambut pendek sekitar 20-an, yang baju coklat sekitar
25-an, yang modis disana tak lebih dari 25-an, terus..”, kemudian otakku
berfantasi jika saja salah satu dari mereka ada yang duduk di sebelahku
pasti perjalananku ini jadi asyik. Tapi aku sadar seketika bahwa
fantasiku tersebut tak mungkin jadi kenyataan ketika seorang pria
berumur 50-an meletakkan sebuah tas disamping tempat dudukku dengan
kasar. Belum hilang rasa kagetku pria tersebut meneriakkan sebuah nama
sambil ngeloyor keluar bus.
“Busyet, sial banget hari ini!”, umpatku dalam hati.
Awak bus sudah bersiap-siap untuk memberangkatkan bus dengan memberi
peringatan pada calon penumpang agar segera naik. Kulihat didalam bus
juga mulai penuh, tapi pria yang mengagetkanku tadi belum juga menduduki
kursinya disampingku. Bus mulai bergerak tapi kursi disampingku hanya
masih terisi tas dari pria tadi. Aku tak peduli lagi dengan siapapun
yang akan duduk disampingku, malahan aku berpikiran kalau memang hanya
terisi tas aja malah dapat memberiku keleluasan dalam perjalanan ini,
aku akan buat bantal tasnya dan menikmati perjalanan ini dengan tidur
nyenyak dengan 2 kursi. Perhatianku sekarang ada pada pemandangan yang
muncul di jendela. Tapi tak beberapa lama aku dikejutkan dengan suara
wanita yang bersusah payah memindahkan tas disamping tempat dudukku
dengan dibantu seorang awak bus dan kemudian wanita tersebut duduk
disebelahku sambil berkata, “permisi ya, bang”, aku hanya tersenyum dan
tak mengeluarkan kata-kata karena masih bingung dengan apa yang terjadi.
Lalu dengan rasa penasaran aku bertanya pada wanita tersebut, “Mbak, apa
bener nomor tempat duduknya?, soalnya tadi yang meletakkan tas disini
cowok.”
Sambil tersenyum wanita tersebut menerangkan kalau pria yang meletakkan
tas itu tadi adalah suaminya yang hanya mengantarkan sampai ke bus aja.
Kemudian dia melanjutkan dengan pertanyaan, “Apa abang keberatan saya duduk disini?”.
Spontan langsung kujawab “Wah, nggak kok Mbak”.
“Jangan pura-pura, pasti kamu kecewa yang duduk disebelahmu wanita tua
yang sudah bersuami lagi!”, kujawab dengan muka merah, “Nggak kecewa
kok, lagipula Mbak juga kelihatan masih muda”.
“Jangan basa-basi, umurku udah 35 tahun kok dibilang muda.”, katanya.
“Tapi wajah Mbak kelihatan masih 25-an tahun.”, kilahku.
Sekilas kulihat senyum di bibirnya dan segera kutolehkan wajahku ke
jendela untuk menghindari tanya jawab lagi karena aku merasa malu dengan
tanya-jawab yang baru saja terjadi. Pemandangan diluar bus mulai gelap
dan lampu didalam bus terang benderang sehingga terpantullah wajah
wanita yang duduk disampingku di jendela kaca. Kuperhatikan dengan
seksama, perawakannya khas wanita kalimantan, tinggi sekitar 160cm,
kulit kuning agak kecoklatan, rambut hitam sebahu agak berombak, wajah
lumayan, berat kuperkirakan sekitar 60 kilo-an, dan dengan mengenakan
kaos ketat warna biru tua lekuk-lekuk tubuhnya yang lumayan menggoda
kelihatan, celana jeans yang ketat menambah daya tariknya, “Tak salah
aku tadi kalau bilang ia seperti masih 25 tahun-an”, gumamku dalam hati.
Setelah 30 menit perjalanan, bus memasuki antrian ke dalam fery. Bus
berhenti dan sopir dan awak bus turun diikuti oleh beberapa penumpang
yang ingin ke toliet. Aku duduk santai dengan pandangan lurus kemuka dan
berusaha memejamkan mata, tapi tak berhasil. Kucoba merebahkan kursiku
tanpa mengganggu wanita disebelahku yang saat ini lagi asyik membaca
majalah. Dalam keadaan bus berhenti, aktifitas yang kubuat-buat dengan
berganti-ganti posisi duduk supaya tak bosan ternyata tanpa kusadari
mengundang perhatian wanita disampingku.
“Ngantuk ya?”, tanyanya
“Iya tapi nggak bisa tidur, Mbak”, jawabku polos
“Masih sore gini kok bisa ngatuk? Seperti anak kecil aja”, ejeknya.
“Capek Mbak, seharian jalan-jalan di Balikpapan”, jawabku seenaknya.
“Jalan-jalan? Apa hari ini liburan sekolah? Sekolah dimana kamu?” tanyanya lagi.
“Saya udah lulus kok”, kujawab dengan tenang tapi dalam hatiku merasa dilecehkan seperti anak kecil.
“Oh, kukira masih sekolah. Kelihatannya kamu masih muda sekali!”, aku
cuman tersenyum saja mendengar alasannya, karena wajah &
penampilanku menunjukkan lebih muda dari umurku yang hampir kepala 3 dan
hal ini sudah seringkali terjadi.
“Darimana asalmu?”
“Saya dari Surabaya, seminggu yang lalu datang ke Tarakan, kemarin balik
dan mampir ke Balikpapan, sekarang mau jalan-jalan ke Banjarmasin”,
jawabku dengan sopan.
“Enak ya bisa jalan-jalan keliling!”
“Nggak Mbak, jalan-jalan ini karena kerjaan saja, kebetulan kerjaan
berikutnya ada di Banjarmasin dan masih 3 hari lagi, daripada pulang
balik waktunya aku pakai untuk jalan-jalan melihat kota-kota di
Kalimantan.”
“Umurmu berapa?”, tanyanya sambil menutup majalah yang ada dipangkuannya sambil menoleh kepadaku.
“28″, jawabku dan langsung dibalas, “Masa sudah 28, kelihatannya masih 20-an”.
“Percaya atau nggak, pokoknya 28″, sambil berdiri dari tempat dudukku
dan minta jalan untuk segera turun dari bus. Ternyata hawa diluar bus
lebih hangat daripada didalam karena AC bus tak dimatikan sewaktu
berhenti.
Setelah turun dari bus, aku berjalan ke kerumunan awak bus dan
menanyakan kapan giliran busku masuk ferry dan menyeberangi Teluk
Balikpapan yang lebar ini. Setelah mendengar jawaban dari awak bus dan
petugas ferry bahwa busku hanya bisa masuk ferry yang besar sehingga
harus nunggu sampai 2 jam lagi, maka dengan perasaan kesal aku berjalan
ke arah sungai sambil mengeluarkan rokokku dari dalam jaket. Sambil
menghisap rokokku dalam-dalam kurogoh jam di sakuku dan kulihat waktu
sudah menunjukkan 20.00. Disertai terpaan angin dan hawa sungai yang
khas, kunikmati kesendirianku dengan sebatang rokok.
Dari kejauhan kulihat busku mendapat tambahan penumpang dan yang menjadi
perhatianku adalah seorang gadis cantik beserta ibunya naik melalui
pintu belakang bus. Pikiranku kembali melayang membayangkan duduk
disebelah gadis cantik itu, tapi pikiran sadarku melenyapkan lamunanku
dan memaksa menerima kenyataan bahwa yang duduk disampingku adalah
wanita ber-suami berumur 35 tahun. Sebenarnya aku tak menyesal duduk
disamping wanita itu tapi obrolannya seringkali menganggap aku anak
kecil, makanya aku turun dari bus sebenarnya untuk menghindari obrolan
dengannya. Kekuranganku adalah sangat kaku dengan orang yang baru
kukenal terutama wanita sehingga obrolanku hanyalah soal-soal sepele
saja karena takut menyinggung perasaan, apalagi saat ini aku berada di
daerah yang adatnya beda denganku meskipun aku sudah berkali-kali ke
beberapa kota di Kalimantan.
Setelah capek keliling didaerah penyeberangan ferry, aku kembali naik
kedalam busku. Aku kaget ketika mendapati tempat dudukku sudah diduduki
wanita yang duduk disebelahku tadi.
Dengan tenang dia berkata dengan logat Banjar, “Ekam (kamu) duduk di tempatku lah!”.
Karena tak ingin ribut soal tempat duduk aku menuruti aja kemauannya.
Sekarang wanita itu duduk disebelah kiriku dekat jendela dan aku
disebelah kanannya dekat lorong bus.
“Berani benar wanita ini, kalau begitu aku harus bersikap sama dengannya”, umpatku dalam hati.
Belum habis kedongkolanku dia mengulurkan tangannya padaku sambil mengucapkan namanya, “Iswani, namamu siapa?”.
Dengan malas kujabat tangannya, “Antok”, jawabku singkat sambil menarik tanganku.
Tapi genggamannya erat seakan tak mau melepas tanganku, aku merasa dia
berusaha merasakan kepalan tanganku. Kemudian dia melepas sambil
berkata, “Tanganmu halus sekali seperti tangan cewek”, dengan tersenyum.
“Emangnya kenapa?”, tanyaku dengan ketus.
“Kerjamu apa? Pasti bukan kerja kasar”, tanyanya kembali dengan nada halus.
“Memang bukan, terus kenapa?”, sengaja kujawab dengan pertanyaan lagi.
“Ya, nggak kenapa-kenapa, kalau nggak mau jawab nggak apa-apa!”, dengan nada kesal.
Melihat raut mukanya yang kesal akan jawabanku aku tersenyum dalam hati
sambil menatap wajahnya agak lama dan baru kusadari kalau wajahnya cukup
menarik. Belum lama kunikmati wajahnya, dia menoleh padaku, secepatnya
kualihkan perhatianku pada majalah yang dipegangnya. Merasa gugup dan
salah tingkah, aku tak dapat mengeluarkan sepatah kata-pun dan hanya
menatap majalah yang ada di pangkuannya.
“Pingin pinjam?” tanyanya.
“Iya, iya ..”, jawabku patah-patah.
“Suka lihat cewek telanjang ya?”, tanyanya.
Bagai disambar gledek, aku terhenyak sadar bahwa sampul depan majalah
gosip yang sedang kutatap adalah gambar cewek berbikini dengan pose
menantang di pinggir kolam renang. Seketika itu wajahku memerah.
“Ah, Iya .. mm.. nggak kok Mbak”, sambil tersenyum malu.
Dia hanya tersenyum melihat tingkahku, “Nih majalahnya, jangan malu-malu, dong”.
Dengan perasaan campur aduk antara malu dan bingung kuterima majalahnya,
lalu segera kubuka ke halaman tengah untuk menghindari gambar seronok,
tapi justru yang kubuka adalah halaman poster dimana model yang ada
dicover depan berpose lebih menantang lagi.
“Cakep ya!”, gumam Iswani yang ikut melihat halaman yang sedang kubuka.
“Eh, iya Mbak, sip banget”, jawabanku polos dan tak terkontrol lagi, tapi dalam hatiku mengumpat, “Sial, sial, sial..”
“Dasar cowok, kalau udah lihat cewek cakep pasti lupa istrinya”, celoteh Iswani.
“Jangankan istri, pacar saja saya belum punya kok”, jawabku sambil menutup majalah.
“Nggak usah bohong, Tok”
“Terserah Mbak, mau percaya boleh, nggak juga nggak apa-apa”
Kemudian kami mengobrol panjang lebar dengan berbagai persoalan sampai tak terasa kalau bus sudah masuk kedalam ferry.
Setelah ferry jalan, sopir bus mematikan mesin serta semua lampu bus dan
menyilahkan penumpang naik ke ferry, tapi karena malas keluar aku
berusaha merebahkan tempat dudukku agar bisa tertidur. Iswani bertanya
padaku, “Nggak turun, Tok?”. “Malas, mau tidur aja disini”. “Dasar bayi,
kerjanya tidur melulu”, olok Iswani padaku sambil berdiri dan berusaha
melewati kakiku. Tanpa menyahutinya kupejamkan mataku, kurasakan kakiku
mulai dilewati Iswani dengan susah payah karena sempitnya ruangan antara
kakiku dengan tempat duduk depanku, tapi hal itu tak membuatnya
menyerah atau membangunganku meminta jalan sejenak. Akupun cuek saja
sambil membuka sedikit mataku dan kulihat Iswani melewatiku dengan
membelakangiku sehingga pantatnya yang seksi berada tepat dimukaku.
Sebenarnya aku ingin memegangnya tapi aku masih tahu diri. Tanpa sengaja
langkahnya tersandung pahaku sehingga sandalnya lepas. Dengan agak
berjongkok dia berusaha mengenakan kembali sandalnya dan mataku terbuka
lebar karena pantatnya menggeser-geser pahaku.
“Kenapa nggak lewat-lewat?”, tanyaku pura-pura tak tahu masalahnya.
“Sandalku lepas, nah ini baru dapat!”, bersamaan dengan itu terdengar
suara perahu mesin berpapasan dengan ferry sehingga terjadi gelombang
yang membuat ferry sedikit mengayun. Ayunan gelombang yang sebenarnya
tak seberapa itu membuat Iswani yang ada berdiri di depanku kehilangan
keseimbangan dan jatuh menimpaku yang lagi duduk. Karena kesigapanku aku
berhasil menahan punggungnya sehingga dia terduduk dipangkuanku.
Pantatnya menduduki daerah kemaluanku hingga dengan cepat burungku
berdiri dan menonjolkan bagian depan celanaku.
“Nggak apa-apa, Mbak?”, tanyaku tepat diteliga kanannya.
“Nggak apa-apa, terima kasih ya!”, jawabnya sambil menolehkan wajahnya ke mukaku.
Karena gerakannya menoleh tadi, tanganku yang menahan punggunya lepas
dan mengenai bagian samping payudaranya. Dalam remang-remang dalam bus
wajahnya bertatapan dengan wajahku sambil menunggu redanya ayunan akibat
gelombang.
Saat itu aku merasa tegang tapi Iswani sepertinya malah menikmati duduk
dipangkuanku. Setelah kurasakan agak reda dari ayunan gelombang, aku
menariknya berdiri lagi. Akhirnya ia dapat berdiri lagi dengan
membelakangi aku tapi karena ruangan sempit maka bagian depan celanaku
yang menonjol menggeser selakangan belakangnya. Kurasakan enaknya hingga
dengan sengaja aku sedikit jongkok dan menggesek pantat dan selakangan
belakangnya. Bukannya segera lewat dari depanku tetapi Iswani malah
merapatkan gesekan sambil sedikit mengerang lirih “mmh..”, untungnya
didalam bus tak ada siapa-siapa. Menyadari setiap saat ada orang yang
dapat memasuki bus maka kutarik badanya kekanan hingga lepas himpitan
badanku. Kemudian aku duduk kembali tanpa berani menatap wajahnya dan
dia ngeloyor turun dari bus. Kupejamkan mata dan segera kulupakan
kejadian mengasyikkan yang baru terjadi.
Samar-samar dalam tidurku terdengar suara gaduh penumpang yang kembali
ke bus. Rupanya ferry telah sampai dan bus akan segera melanjutkan
perjalanannya, tapi mataku masih sulit terbuka. Baru setelah teman
dudukku melewati kakiku membuat aku terbangun, setengah sadar aku
bertanya, “Jam berapa sekarang?”
“Baru pukul 21.00″, jawabnya.
Dengan setengah sadar kutegakkan kembali kursiku agar penumpang
dibelakangku tak terganggu. Bus bergerak keluar dari ferry dan dalam 30
menit berbelok ke kanan dan berhenti di sebuah rumah makan.
Kali ini aku segera turun karena sudah lapar sekali. Aku langsung
mengambil makanan yang telah disiapkan serta menyerahkan sobekan tiketku
pada pegawai yang menghidangkan makanan. Selesai makan aku segera ke
toilet untuk buang air kecil, lalu kembali ke bus dengan menghisap
sebatang rokok. Aku merasa segar kembali, sambil menunggu untuk
berangkat kembali, aku melakukan stretching disamping pintu masuk bus
agar badanku tidak pegal semua karena terlalu lama duduk. Tiba-tiba aku
merasa punggungku ditepuk orang, aku toleh kebalakang yang kulihat
adalah Iswani.
“Kalau acara makan kamu cepat sekali, turun duluan, nggak nunggu aku”, ucapnya tanpa memberiku kesempatan bicara.
“Turun duluan saja dapat makan sedikit, apalagi nunggu Mbak, pasti keburu habis”, gurauku untuk menangkis olokannya.
Sambil mendorongku minggir untuk masuk kedalam bus dia berkata “Awas, ya!” dengan muka masam.
Perjalanan berlanjut melewati jalan aspal yang berukuran pas untuk 2
kendaraan seukuran kijang, beruntunglah dalam perjalan ini cenderung
sepi, tapi bila berpapasan dengan truk atau sesama bus maka salah
satunya harus turun dari jalanan aspal. Hal ini membuat bus bergoyang
keras kekiri dan kekanan. Kali ini teman dudukku sangat diam, tapi aku
tidak tahu apakah dia tidur atau masih terjaga karena lampu didalam bus
dimatikan. Setelah 2 jam berjalan bus mulai memasuki daerah tanjakan
dengan jalan yang berlika-liku. Goyangan bus sangat keras sekali ketika
menikung karena sopir tidak mengurangi kecepatan sama sekali.
Barang-barang dibawah kursi penumpang mulai berserakan tak terkecuali
sandal dan sepatu penumpang yang dilepas. Aku sama sekali tidak khawatir
dengan hal itu karena sepatuku tidak pernah kulepas, tapi tidak bagi
teman dudukku. Dia kelihatan bingung mencari sandal kanannya yang hilang
entah kemana.
Aku mencoba menenangkan, “Mbak, nanti aja dicari kalau bus berhenti dan lampunya dinyalakan, pasti ketemu.”
Bukannya tenang tapi dia malah marah, “Jangan bercanda, ayo bantuin cari.”
“Percuma gelap Mbak, nggak kelihatan apa-apa”, jawabku.
“Belum berusaha udah nyerah”, bentaknya padaku sambil membungkukkan badannya.
“Bukannya menyerah, Mbak, tapi aku kan tidak ikut punya sandal, kalau
kaki Mbak juga bisa dilepas mungkin juga ikut hilang ya, hehehe..”,
jawabku dengan bercanda.
Dalam remang-remang kulihat dia mendongkakkan kepala menghentikan
pencariannya dan dengan cepat tangannya memegang bagian dalam pahaku
lalu mencubitnya. Untung bisa kutahan jeritanku, tapi rasa cubitan itu
benar-benar menyakitkan. Iswani ganti tersenyum dan tak melepaskan
cubitannya berkata pelan, “Untuk tanganku ini nggak bisa dilepas, kalau
bisa pasti sudah merah semua sekujur tubuhmu karena cubitannya”.
Kupegang tangannya yang mencubit sambil memohon, “Maaf Mbak, tolong lepaskan cubitannya nanti aku bantuin”.
“Kalau kamu bohong akan kucubit lagi ya”, ancamnya sambil melepaskan cubitannya.
“Iya, iya”, jawabku sambil menengok kebagian belakang bus kalau-kalau
ada kursi kosong untuk pindah tempat dan menghindari cubitan berikutnya,
tapi tak kutemukan.
“Cari apa Tok? Kursi belakang udah penuh tinggal sebelah sopir kalau mau pindah”, bisik Iswani di telinga kiriku.
“Ah, nggak kok Mbak”, sambil mengelus bekas cubitannya yang masih sakit
padahal aku memakai celana jeans tebal. Ternyata siasatku sudah terbaca,
“Sial”, ungkapku dalam hati.
“Ayo cepat carikan sandalku sebelum benar-benar hilang”, perintahnya padaku.
“Sebentar Mbak, cubitan Mbak masih sakit nih”, jawabku tak mau kalah.
“Ooo, pingin dicubit lagi ya?”, ancamnya lagi.
“Iya-iya”, lalu kurogoh saku jaketku untuk mengambil senter kecil yang
biasa kubawa dan menyalakannya. Kuarahkan senterku ke sandal kirinya
untuk melihat bentuknya lalu kubungkukkan badan kebawah kursiku, dengan
senterku akhirnya terlihat sandal kanan Iswani ada dibawah tempat
duduknya terjepit oleh kaki belakang kursinya dan dinding bus.
“Sudah ketemu Mbak”, kataku sambil menegakkan lagi punggungku.
“Mana?”, tanyanya. “Kejepit dibawah kursi Mbak, dari bawah kursiku
tanganku nggak sampai, coba Mbak rogoh sendiri, mungkin tangan Mbak
sampai.”
Belum selesai penjelasanku dia sudah membungkukkan badan dan berusaha mencari-cari dengan tangannya. Tapi usahanya gagal.
“Tok, coba kamu aja yang ambil tapi lewat sini”, sambil menunjuk ruangan
diantara kedua belah paha kakinya yang sudah dilebarkan.
“Yang bener Mbak?”, meskipun dia memakai celana jeans tapi tetap aja rasanya nggak benar.
Dengan berbisik dia menenangkanku kalau hal itu nggak apa-apa karena
lampu didalam bus gelap sehingga tidak akan ada yang melihat. Akhirnya
kuturuti kemauannya, kubungkukkan badanku ke pangkuannya dan kumasukkan
tanganku kebawah tempat duduknya untuk meraih sandal yang terjepit.
Usaha pertama gagal karena tanganku tak sampai, lalu semakin
kubungkukkan badanku lagi hingga mukaku hampir menyentuh resleting
celananya. Tangan kananku sudah menyentuh sandal yang terjepit tapi
masih belum dapat meraupnya. Semakin kubenamkan mukaku diantara kedua
pahanya hingga daguku menggeser selakangannya dan tiba-tiba bus
bergoyang agak keras sehingga aku hampir terjatuh, untungnya tangan
Iswani dengan cepat menarik kepalaku dan kedua pahanya mengapit badanku
sehingga kepalaku terhindar dari bagian belakang kursi didepan Iswani.
Tapi akibatnya mulutku menyentuh daerah kemaluannya dan meskipun memakai
celana jeans tapi aku yakin dia merasakan sentuhan tersebut karena
tarikan tangannya pada bagian belakang kepalaku bertambah erat meskipun
bus sudah tak bergoncang lagi. Dan akhirnya kudapatkan sandal yang
terjepit itu. Dengan menopangkan tangan kiriku pada paha kanannya aku
bersusah payah untuk berdiri dan akhirnya berhasil kembali ketempat
dudukku kembali lalu keberikan sandalnya yang masih kugenggam dengan
tangan kananku. Aku duduk lega sambil menghirup udara sebanyak-banyaknya
dan kulihat dia memakaikan sandal itu dikaki kanannya serta mengikatkan
talinya dengan teliti sambil berbisik, “Terima Kasih, ya!”
Setelah minum dari botol aqua yang ada di tasku, tangan kananku kembali
mengelus pahaku bekas kena cubitan Iswani yang masih sedikit perih.
Tanpa kusadari ternyata Iswani melihatnya dan berkata lirih, “Masih sakit ya, maaf ya!”.
Tapi aku tetap diam.
“Aku elus nanti pasti sembuh”, bisiknya sambil mengelus bagian dalam paha kiriku.
Burungku yang sedari tadi tidur tenang mulai menggeliat bangun
terangsang oleh elusannya yang semakin lama semakin menuju pangkal paha.
Elusannya sekarang berubah arah bagian celana tepat dimana burungku
bersembunyi.
Malam semakin larut dan Iswani semakin berani, tubuhnya semakin mendekat
ke tubuhku. Tangan kanannya yang sedari tadi diam mulai bergerilya
membuka resletingku dan mulai memasuki celana dalamku. Kumiringkan
tubuhku agak kekiri dan kutatap wajahnya. Kedua tangannya tetap
menggenggam burungku sambil sesekali memainkan telornya. Tanganku tak
mau kalah, kuletakkan tanganku diatas kaosnya dimana payudaranya berada
dan kumainkan jari-jari menggoda daerah putingnya. Kulihat bibirnya
mulai membuka karena mendesah lirih, tak kusia-siakan kesempatan ini
untuk menyodorkan bibirku ke bibirnya dan melumatnya dengan dengan penuh
semangat. Lidahku mulai bersentuhan dengan lidahnya, sesekali kusedot
lidahnya dengan bibirku kedalam mulutku dan sebaliknya. Sementara itu
tangannya memainkan burungku dengan gerakan mengocoknya. Tangan kiriku
tetap menggosok-gosok payudaranya sedangkan yang kanan bergerak kebawah
untuk membuka resleting celananya.
Setelah berhasil, kuraba bagian luar celana dalamnya tepat didaerah
besarang kemaluannya dan sudah terasa agak basah. Kemudian kumasukkan
tangan kananku kedalam celana dalamnya dan jariku mulai bermain-main
dengan disekeliling vaginanya. Jari telunjukku mulai menemukan
klistorisnya dan memejetnya dengan halus. Bersamaan dengan itu dia
melepaskan ciuman dibibir serta melepas tangan kanannya dan tetap
meninggalakan tangan kirinya di celana dalamku. Tangan kanannya mulai
merangkul bagian belakang leherku hingga kepalaku tertarik ke bagian
lehernya. Dengan cepat kusedot leher kirinya yang menghasilkan reaksi
semakin liar. Jari jemariku tetap bermain didalam celana dalamnya hingga
pantatnya terangkat sedikit yang merupakan tanda kalau vaginanya sudah
tak sabar dimasuki jariku. Dua jariku langsung dengan mudah masuk
kedalam vaginanya yang sudah licin dengan mudah.
“Ahh..”, desahnya lirih
Desahannya bagaikan bensin yang membakar semangatku untuk memainkan 2
jemariku dalam liang kenikmatannya makin cepat dan cepat. Akhirnya 2
jariku merasakan banjirnya cairan hangat yang disertai dengan tarikan
kedua tangannya pada pergelangan tangan kananku agar kedua jariku tetap
menancap tak bergerak didalam liang kenikmatannya yang paling dalam.
Dengan napas yang berat dan nada yang putus-putus, Iswani mendesah.
“Mmh.. Hmm.. Tok.. Makasih ya..”
Setelah melepaskan pergelangan tanganku, dia kembali tenang dan kutarik 2
jemariku yang masih basah meninggalkan vaginanya lalu keluar dari
celana dalamnya. Aku kembali duduk dan menoleh kekanan melihat keadaan
sekeliling dalam bus yang tetap melaju dengan kencang. Kulihat penumpang
disekitarku masih terlelap. Kulihat jam di saku jaketku menunjukkan
01.00. Kurasakan ujung burungku yang masih tegang dan terjepit oleh
karet celana dalamku merasa kedinginan oleh hawa AC bus. Berniat
memasukkan burungku kedalam celana dalam kulihat Iswani tertlungkup
lunglai membelakangiku.
Tiba-tiba bus berbelok ke kanan sehingga tubuhku mengayun kekiri dan
merangsek ke tubuh Iswani. Toleh kanan-kiri serta dan sedikit berdiri
untuk melihat keadaan penumpang sekelilingku masih terlelap bahkan
bangku belakangku kosong tak berpenumpang. Keberanianku semakin
bertambah. Kupelorot celana dalamku hingga seluruh batang kemaluanku
dapat mendongkak dengan bebas. Bagian depan tubuhku sudah menggeser
punggung Iswani, tapi dia masih tetap bereaksi, mungkin karena sudah
lemas. Tanganku bergerak cepat, kurasakan resleting Iswani masih
terbuka, tangan kananku kembali masuk celananya tapi tetap diluar celana
dalamnya sambil menekan-nekan bagian celana dalamnya yang sangat basah
tepat didepan lubang kemaluannya. Pantat Iswani mulai sedikit bergoyang
dan menggeser batang kemaluanku. Sudah tak tahan lagi maka segera
kutempatkan kedua tanganku di bagian pinggul celana jeansnya untuk
melorotkannya. Usahaku ternyata tak dihalanginya malahan dia cukup
membantu dengan sedikit menopangkan pantatnya pada kakinya hingga
celananya tak terjepit oleh tempat duduknya.
Sekarang celana dalam dan jeansnya udah merosot sampai paha. Posisinya
yang membelakangiku menyebabkan pergeseran nikamat antara batang
kemaluanku dengan pantat dan selakangannya. Tubuhku terus merangsek ke
tubuhnya dan kedua tanganku sudah berada dalam kaosnya meremas-remas
kedua payudaranya meski masih dilindungi Bhnya. Kurasakan ujung burungku
menggeser bagiannya yang sudah amat basah. Kukeluarkan tangan kananku
dan memegang batang kemaluanku untuk kuarahkan ke target yang benar.
Dengan posisi duduk membelakangi aku dia agak menelungkup bertopang sisi
kiri tubuhnya, pantat kiri tetap diatas kursi, pantat kanan sedikit
terangkat sehingga lubang vaginanya siap menjadi target misilku.
Kudekatkan kepalaku pada telinga kanannya, kuciumi pangkal lehernya.
Nafas beratnya makin terdengar seiring dengan desahan halusnya, “Akh..
Ayo Tok, masukin..”
Tanpa menunggu aba-aba ujung misilku yang sudang berada di ambang
kenikmatan menerobos masuk. Sebuah jeritan lirih membuat tangan kananku
langsung menutup mulutnya, untungnya suara mesin bus masih sangat
mendominasi suasana. Misilku masih belum bergerak, 3/4 bagiannya sudah
masuk, sisanya menunggu usahaku. Iswani sudah tak sabar, dia mulai
memaju-mundurkan pantatnya tapi tak berhasil karena terhimpit badanku
dan kursi. Tiba-tiba bus bergoncang setelah berpapasan dengan truk
sehingga turun-naik dari aspal. Akibat goncangan, batang kemaluanku
semakin dalam menancap kedalam liangnya dan kuteruskan dengan gerakan
maju mundur. Kulepas tanganku dari mulutnya, terdengar desahan halus,
“Hmm.. Akh.. ah.. Ah..” Kulihat samar-samar Iswani menggigit bibir
bawahnya dengan gigi atas ketika bus melewati rumah-rumah yang berlampu.
Tangan kanannya menggengam tangan kiriku.
Gerakanku semakin cepat seiring dengan semakin erat genggaman tangannya.
AC bus yang dingin tak dapat menahan butiran keringatku. Sedikit demi
sedikit Iswani merubah posisinya dan berusaha duduk diatas kedua pahaku.
Kubantu dia dengan mengangkat pinggulnya hingga ia benar-benar
mendudukiku, celana dalam dan jeansnya yang kupelorot tadi sudah turun
sampai pangkal kaki sehingga bagian bawah kedua pahanya yang mulus
saling bergeser dengan bagian atas pahaku yang berbulu. Sekarang aku tak
dapat bergerak tertindih olehnya. Dengan berpegang pada kursi
didepannya dia melakukan gerakan naik turun yang berirama seiring dengan
goncangan bus. Kenikmatan yang kurasakan benar-benar tiada
bandingannya. Cengkeraman dinding vaginanya memberikan sensasi yang luar
biasa pada perasaanku. Setiap gerakan naik, kedua pahanya mengapit
kedua pahaku, dan batang kemaluanku terasa disedot. Lalu gerakan
turunnya mengakibatkan ujung kemaluanku terasa dipaksa membuka hingga
bagian mulut ujung kemaluanku menempel pada organnya yang lembut dan
basah, dan pangkal batang kemaluanku turut menikmati sentuhan bibir
vaginanya.
Gesekan antara paha, pantat serta usapan-usapan telapak tanganku pada
bagian depan daerah kemaluannya yang berambut mempercepat klimaksnya.
Iswani mulai memperlambat gerakannya, menutup apitan kedua pahanya,
merebahkan punggungnya pada dadaku dan menengadahkan kepalanya dipundak
kananku. Karena letak mulutku pas pada telinga kirinya maka kuserobot
telinganya dengan ciuman mulutku. Kedua tangannya menggennggam erat
kedua tanganku. Seiring dengan desahan halus yang keluar dari mulutnya,
kurasakan otot-otot pahanya mulai menegang, jepitan vaginanya pada
batang kemaluanku memberikan denyutan-denyutan yang disertai rasa hangat
keluarnya cairan yang membasahi seluru batang kemaluanku. Denyutannya
bersambut dengan denyutanku hingga misilku memuntahkan semua amunisinya
dengan tekananan yang hebat. Tiga sampai empat kali tembakan misilku
didalam liang kenikmatannya dibalas dengan denyutan vaginanya seakan
menyedot batang kemaluanku untuk menguras semua isi misilku. Batang
kemaluanku kembali berdenyut dan mengeluarkan semua sisa amunisinya
hingga benar-benar habis.
Berdua kami menghela napas panjang selagi penisku beristirahat dalam
liang kenikmatan miliknya. Iswani kemudian menegakkan badannya dan
mengambil beberapa lembar tissu lalu menarik tubuhnya dari pangkuanku ke
samping kiriku, ke tempat duduknya. Sambil membersihkan kemaluannya
dengan tissu dia mengulurkan sisa tissunya untukku. Setelah membersihkan
dan mengenakan kembali celana kami, aku sempat melihat jam di sakuku,
kulihat pk 02.51, sebelum akhirnya tertidur pulas. Terbangun oleh suara
gaduh awak bus serta penumpang yang siap-siap turun kulihat jendela bus
sudah terang benderang. Kuambil botol aqua dari tas dan minum sampai tak
tersisa isinya. Kupandang Iswani yang duduk disebelah kiriku masih
memejamkan mata dengan raut muka kepuasan yang melelahkan. Kulihat busku
melewati kota Martapura dan jam disakuku menunjukkan pukul 07.26. Sisa
perjalanan kuperkirakan tinggal 1 jam lagi.
“Jam berapa Tok?”, tanya Iswani mengagetkanku.
“Setengah delapan”, jawabku.
“Di Banjarmasin nanti kamu nginap dimana Tok?”, tanyanya lagi.
“Nggak tahu Mbak, kalau udah nyampai baru cari penginapan”, jawabku santai.
“Aku ikut kamu, ya?”, tanya sambil tersenyum menggoda.
Pertanyaan Iswani tadi menutup cerita perjalananku
Balikpapan-Banjarmasin dengan bus AC. Jawabanku akan pertanyaannya yang
terakhir akan menentukan ceritaku selanjutnya di kota Banjarmasin
nantinya.